Rabu, 27 Oktober 2010
BPK Oi Tangerang Selatan
Badan Pengurus Kota Ormas Orang Indonesia (OI) Tangerang Selatan , Organisasi Pemberdayaaan generasi muda Indonesia Organisasi OI didirikan oleh Iwan bersama para 300 orang terdiri dari aktifis, seniman, budayawan, mahasiswa dan para penggemarnya yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Didirikan pada tanggal 16 Agustus 1999 di Ds. Leuwinanggung Cimanggis-Depok. BPK Ormas OI Kota Tangerang selatan adalah struktur organisasi OI di tingkat Kota . membawahi 8 Oi Kelompok Anggota OI di wilayah Banten . tersebar di seluruh pelosok Tangerang Selatan . Mulai dari daerah perumahan sampai dengan gang-gang atau jalanan. Jumlah pasti anggota OI di Tangerang Selatan beserta simpatisannya masih tahap proses pendataan yang valid. Lingkup kegiatan Ormas OI di Tangerang Selatan. meliputi bidang seni, budaya, pendidikan dan pelatihan, sosial kemasyarakatan, serikat niaga, rohani, olahraga dan kepemudaan
salam Oi....
Salam persatuan...
Salam Persahabatan...
Untuk saudaraku semua Orang Indonesia dimanapun berada..
Selamat datang...Indonesia yang penuh harapan...
Optimisme dalam perjuangan kita membangun bangsa kita telah sampai pada relung nurani kita bersama...
Dimulai dari membangun Tangerang Selatan ,hingga ke pelosok nusantara...
mari kawan yang menjadi saudara kita bersama...
besama kami Ormas OI...mari kita terus berkarya bersama...
bersatu...berpadu...tulus tanpa prasangka...
Ayo bersama-sama membangun negeri...
jangan malu...jangan sungkan....jangan terpecah
jangan sendiri-sendiri...
ibarat sapu lidi...jika ia terus bersama...
sulit ia dipatahkan..ibarat padi tak pernah tumbuh sis sebiji...
Ayo kawan....segala kekurangan memang milik manusia...
perbedaan memang pasti ada.....tapi persamaan lebih utama...
Bersama OI
Kita bersama-sama membangun negeri....
membangun jakarta yang berbudaya....nyaman damai....
penuh senyum untuk kita sesama...
anak negeri ini....
Indonesia Tercinta...
Salam dari
anak "..Orang Indonesia...."
Sabtu, 23 Oktober 2010
Humanisme dalam Lirik Lagu Iwan Fals
Oleh Taufik Damas
[ARTIKEL] Dalam lagu, orang biasanya bicara tentang cinta yang mengandaikan keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak.
Setiap kali mendengar lagu-lagu Iwan Fals (selanjutnya disingkat IF), banyak orang yang sejenak tersadar akan kondisi sosial tanah air. Orang suka, gemar dan gandrung pada IF karena lagu-lagunya mudah dicerna dan mengandung pesan-pesan humanis yang mendalam. Lirik-lirik lagunya bagaikan kolaborasi antara ayat-ayat Tuhan dan resonansi kondisi sosial Indonesia sendiri. Karena itu, ada orang yang menganggap IF “utusan Tuhan” untuk rakyat Indonesia.
Tentu ada banyak alasan menyebut IF “utusan Tuhan”. Yang terpenting adalah kandungan renungan dan penghayatan subjektif atas lagu-lagu, serta karakter pribadinya. Kita mungkin tidak hafal betul tahun berapa tiap lagu IF diciptakan. Mungkin itu tak penting. Yang lebih penting adalah menghafal inti pesan yang terkandung dalam lirik-liriknya. Karena itu, sebagian besar lagu IF begitu melekat di kepala banyak orang. Melalui lagu-lagunya, kesadaran akan kondisi sosial-politik Indonesia mudah terkonstruksi di kepala Orang Indonesia (OI). IF mungkin bisa disebut guru sosiologi terbaik, paling tidak bagi Orang Indonesia.
Dari lirik lagu-lagunya, orang mudah menilai IF sebagai sosok “pemberontak”. Dia pemberontak terhadap kondisi sosial politik yang sebenarnya tak terlalu rumit untuk diurai. Setiap nurani yang hidup akan mudah menemukan bahwa “di sini” ada ketidakadilan, penindasan, dan, kerusakan moral. Hanya saja, ketidakjujuran memperumit semua itu, sehingga orang tak mampu mengatakannya. Kita lalu serempak terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Karena itu, yang menonjol di negeri ini adalah para penjilat, durno, kancil, bandit, karet, bunglon, dan lain-lain.
Kelebihan lirik lagu IF yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa ia tidak lahir dari ruang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil jepretan atas kondisi sosial politik Indonesia sendiri, dengan penggunaan kata-kata sederhana, telanjang, dan kadang-kadang jenaka. Hampir seluruh profesi sosial orang Indonesia pernah dipotret secara sederhana tapi tetap mendalam oleh IF. IF mampu menyampaikan potret sosial itu dengan kata-kata yang mudah dicerna bahkan oleh nalar orang awam sekalipun. IF mampu melihat sisi yang manusiawi dari suatu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Contohnya adalah gambarannya tentang profesi pelacur atau yang kini lebih dikenal sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Sebagian besar kita hanya melihat PSK sebagai sampah masyarakat. Para agamawan juga ikut aktif menstigma profesi dan eksistensi mereka. Tapi IF mampu mengungkap kenyataan bahwa di antara mereka terdapat perempuan-perempuan yang berjuang untuk anak-anak mereka yang tak jelas rimba ayahnya. Bahkan IF memberi harapan bahwa Tuhan akan tetap mendengar doa mereka. Cermati lagunya yang berjudul Doa Seorang Wanita Pengobral Dosa. Pandangan yang humanis ini tentu tak akan kita temukan pada diri orang yang tak punya kesadaran sosial dan spiritual yang mendalam.
Dalam politik, orang mungkin akan mencemooh IF andai dia menjadi seorang politisi. Pandangan-pandangan politik yang ada dalam lagu-lagunya tidak akan dijadikan mars oleh para demonstran jika dia ikut dalam “dunia pestapora para binatang”. IF akan segera disejajarkan dengan mereka yang senang “bermain lompat karet”. Kenyataannya, IF betul-betul menunjukkan karakternya dalam menyikapi kondisi sosial politik berhadapan dengan pamor dirinya. IF betul-betul “patah arang” terhadap politik. Bagi IF, panggung politik adalah panggung para binatang yang merasa diri sebagai bintang (Asyik Gak Asyik).
Padahal, jika mau, dengan wibawa dan popularitasnya, partai manapun akan siap menerima IF sebagai bagian dari elitnya. Bahkan mendirikan partai pun bisa ia lakukan, walau belum tentu jadi besar. Dan itu berarti hasrat untuk memperkaya diri akan menemukan jalurnya, sebagaimana banyak dilakukan para belalang (Belalang Tua). Namun, kekuatan karakter yang ada dalam dirinya dengan keras membimbing IF agar tidak tergiur ikut pesta. Di era reformasi (katanya), lagu-lagunya yang terbundel dalam album terakhir, Manusia Setengah Dewa, mempertegas sikap sosial politik dan karakter dirinya sebagai seorang “utusan Tuhan”.
Hal yang mengagumkan dalam diri IF adalah kematangan diri yang sulit kita temukan dalam diri kebanyakan orang. Dia adalah “utusan Tuhan” yang menerima wahyu non-evaluatif untuk disampaikan kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat manusia. Walau lirik dalam lagu-lagunya begitu kental pesan-pesan moral (di balik kritik sosial pasti ada pesan moral) yang realistik dan eternal, namun kerendahan hati dan ketenangan tampak begitu inheren dalam dirinya akhir-akhir ini. Gaya bicara yang tak lantang (baca: pongah) lagi, menunjukkan bahwa IF sadar bahwa dirinya bukanlah manusia setengah dewa.
Dia tak berpretensi bahwa untuk membenahi kondisi sosial politik di Indonesia cukup dengan bernyanyi. Ini membuatnya tidak pernah geer. Namun, pergulatan batin yang dahsyat tentang ketimpangan sosial yang terjadi di Bumi Pertiwi, tetap ia suarakan dengan lantang lewat lagu. Kelantangan itu seolah ia cukupkan diwakili oleh lagu. Sikap diri seorang IF, jika harus diberi tanda, maka tak lain adalah konsistensi dan integritas.
Mendengarkan lagu-lagu cinta IF, kita akan menangkap bahwa cinta yang dihayatinya adalah cinta orang-orang marjinal. Itu bisa kita lihat dalam lagu-lagu seperti Lonteku, Kembang Pete, Yakinlah (duet bersama Eli Sunarya) dan lain-lain. Itulah cinta yang jujur, dalam, dan kere. Saking kere-nya, seorang lelaki hanya mampu mempersembahkan kembang pete kepada perempuan pujaannya. Keberpihakan IF pada rakyat kecil nan marjinal begitu jujur dan mendarahdaging. Dalam lagu-lagu cinta pun ia memilih potret cinta-cinta orang pinggiran.
Dalam lagu, orang biasanya bicara tentang cinta yang mengandaikan keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak. Perhatikan kebanyakan lagu-lagu cinta yang dinyayikan di negeri ini; tidak pernah dewasa.
Seorang kawan pernah menyatakan ketidaksetujuannya pada IF, karena dia pernah mengeritik Tuhan dalam salah satu syair lagunya, Tolong Dengar Tuhan! Lagu itu ia nyanyikan setelah meletusnya gunung Galunggung di Tasikmalaya. Jika disikapi dengan nalar terbuka, lagu itu justru merupakan ekspresi penghayatan tentang alam semesta dan Tuhan yang dialami oleh orang yang bebas dan berani. Dalam dunia filsafat, penghayatan seperti itu justru banyak diungkapkan oleh para filsuf. Penghayatan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teologi atroposentris.
Jadi, menghayati isi lagu-lagu IF, kita akan menemukan kecenderungan humanisme yang kuat. Humanisme yang dari zaman ke zaman selalu disuarakan oleh para utusan Tuhan. Kini dan di sini, IF adalah utusan Tuhan yang diabaikan! [Source : www.islamlib.com] ***
Sabtu, 16 Oktober 2010
Rabu, 13 Oktober 2010
Sabtu, 11 September 2010
Jumat, 10 September 2010
keseimbangan
Satu perjalanan spiritual yang dilakukan ,seorang legenda hidup sambil mempromosikan album barunya keseimbangan . yang namanya telah disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer. Majalah TIME Asia edisi 29 April 2002, sebuah perjalanan batin menurut saya , kenapa tidak musisi pelantun Kritik sosial ini melahirkan sebuah lagu yang sangat membangkitkan emosi diri dari kita anak bangsa ,keprihatinan yang sangat pada Negri kita ,yang semakin hari semakin terpuruk saja , sosok legenda hidup itu adalah Virgiawan Listanto atau yang biasa dikenal sebagai Iwan Fals. Melakukan perjalanan ke beberapa kota seperti , Cirebon,Lamongan ,Blitar ,Solo,Tasikmalaya, dan terakhir Cimahi sedangkan Jombang entah mengapa tak dapat ijin
Dalam perjalananya lahirlah lagu itu ,mencipta lagu bukan hal aneh tapi dalam lagu Soekarno , ini terasa begitu menghentak dalam alunan Blues : music rintihan kaum papa di negri asalnya apakah itu sebuah dialog spiritual Iwan fals dengan bung karno ? entahlah yang tau hanya abang kita
Negri ini memang kaya , kaya orangnya ,kaya binatangnya
Negri ini memang kaya , kaya alamnya , kaya budayanya..
Negri ini memang kaya, kaya pejabatnya, kaya penjahatnya
Negri ini memang kaya Kaya idenya , kaya sejarahnya
Negri ini memang kaya………
Hei bung karno , aku bersimpuh di makammu
Bertanya tetang Indonesia kini
Hei bung karno, nyenyakkah tidur abadimu
Kudatang mengganggu istirahatmu
Negri ini memang kaya , kaya rakyatnya ,yang menangis diujung malam
Negri ini memang kaya , kaya harapannya , kaya aturannya
Merah putih termangu , terkulai ,berdebu dipojok gedung ,bekas penjajah!!
Pancasila meronta ,garuda terkasih ,melayang pergi
Negri ini memang kaya …………..
Hei bung karno aku bersimpuh dimakammu
Tebarkan tembang itu yang letih
Hei bung karno , nyenykkah tidur abadimu
Inikah nyanyian kecewa …..
Hei bung karno, aku bersimpuh dimakammu
Apakah kisahmu ,menjadi api
Hei bung karno ,nyeyakkah tidur abadimu
Mimpi yang aneh menyiksa negri
Hei bung karno,aku bersimpuh dimakammu
Maafkanlah aku yang cengeng
Hei bung karno,nyeyakkah tidur abadimu
Tuangkanlah keberanian itu
Hei bung karno, aku bersimpuh dimakammu
Suaramu mengelegar di kalbu
Hei bung karno, nyeyakkah tidur abadimu
Bilakah mimpi itu menjadi nyata
Negri ini memang kaya
Kaya penguasanya , yang miskin hatinya
Negri ini memang kaya ………………..
ABANG LAGIEE
Iwan Fals :
Kalau alam hancur kamu juga hancur!
Jambi, 27 Maret 2005
Rambutnya mulai kelabu. Garis-garis halus perjalanan hidupnya kini juga sudah mulai terpahat di wajahnya yang tenang. Kata-kata yang keluar pun selalu apa adanya dan berakhir dengan kesederhanaan. Sikapnya juga memantulkan kerendahan hati sebagaimana layaknya ia sebagai seorang legenda hidup.
Demikian kini sosok Virgiawan Listanto atau yang biasa dikenal sebagai Iwan Fals, penyanyi yang biasa menyuarakan kritik-kritik sosial, yang oleh Majalah TIME Asia edisi 29 April 2002, pernah dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asian Heroes) yang disejajarkan dengan sosok legenda hidup Asia lainnya seperti San Suukyi, Hidetoshi Nakata, Jackie Chan hingga Pramoedya Ananta Toer.
Sosok dan lagu-lagunya sering diidentikkan dengan Bob Dylan, penyanyi balada Amerika yang juga suka menyuarakan kritik-kritik sosial. Bob Dylan juga merupakan sosok idola bagi ayah bagi tiga anak ini. Kendati kini lagu-lagu terakhirnya tidak “segarang” dahulu, namun bukan berarti dia melupakan atau tidak mempedulikan apa yang sesungguhnya tengah terjadi di negerinya sendiri. Dengan segenap kemampuannya sebagai pekerja seni, dia tetap memberikan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Merasakan kembali panggung besar bersama grup band anak muda Slank, dia ikut melakukan konser amal : Bersatu dalam Damai, untuk membantu para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih terpuruk dan terhimpit dalam kesulitan hidup pasca bencana. Target Rp 3 milyar diinginkannya dalam konser amal ini.
Disela jadwal turnya yang padat itulah, Alam Sumatera secara eksklusif diberi kesempatan untuk mewawancarainya beberapa saat setelah dia dan rombongannya baru tiba di Jambi usai menempuh enam jam perjalanan dari Palembang lewat jalan darat, pada 25 Maret 2005 lalu. Bukan hanya ikut memberikan dukungan bagi konsernya tetapi juga ingin mengetahui lebih jauh pandangannya terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan alam yang sering diabaikan oleh sebagian besar masyarakat negeri ini. Dalam sekian lagu yang diciptakan, begitu banyak lagu-lagu terdahulunya juga menyoroti masalah hutan, lingkungan dan orang-orang tertindas. Rasanya semua itu, masih terasa aktual untuk didendangkan.
Dan sepanjang berbicara dengan Iwan Fals bisa dipastikan akan terus “nyambung” apa pun temanya. Karena dia jelas sangat rajin baca (berita), nonton TV dan mengamati perkembangan yang ada di Indonesia selama 44 tahun perjalanan hidupnya. Karena jika anda mengamati lagu-lagunya maka jelas kita seperti diajak melihat catatan-catatan peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri tercinta ini. Tentu saja lengkap dengan perenungan khas seorang Iwan. Berikut wawancara yang dilakukan oleh Musfarayani dan Invicta Sudjarwati.
Alam Sumatera (AS) : Sebagai pekerja seni bagaimana pandangan Bang Iwan sendiri melihat bencana tsunami dan masalah lingkungan yang ada di Indonesia ini?
Iwan Fals (IF) : Penting benar mempertahankan hutan bakau di sekitar pantai, juga pengetahuan tentang laut yang sama pentingnya. Saya hanya melihat hikmah itu saja yang saya dapat dari kejadian tsunami itu. Apalagi di sana banyak sekali pantai. Lalu kesiapan (badan-badan) sosial, atau badan-badan penyelamat jadi tidak gugup dalam kondisi seperti itu. Itu pelajaran yang berharga. Aku melihatnya seperti itu.
Kalau soal perjalanan ini (konser amal untuk Aceh bersama Slank), yah…kita berusaha cari uang, berusaha walau sedikit untuk membangun infrastruktur, meski (sementara) persoalan mental itu juga enggak gampang, yah. Apalagi saya dengar juga banyak warisan-warisan budaya di sana juga hilang karena kejadian itu.
AS : Seharusnya memang kalau punya pengetahuan berkaitan dengan tsunami,mungkin tidak perlu terjadi…..
IF : Yah…harusnya begitu. Begitu air laut surut, kita kan bisa lari ke gunung, umpamanya. Pagi-pagi bangun. Tapi kita tidak tahu soal itu.
AS : Ada kesempatan bagi Bang Iwan sebagai pekerja seni untuk bisa melakukan sesuatu untuk membantu masyarakat Aceh. Tapi tidak semua masyarakat yang bisa. Mau membantu tapi tidak tahu cara melakukannya. Bagaimana perasaan Bang Iwan punya kesempatan ini?
IF : Yah banyak. Aku pikir semua orang di Indonesia ini melakukan sesuatu. Paling enggak ikut berpikir tentang itu. Saya enggak bisa bilang seneng atau sedih, yah. Sekarang, bagaimana kita membantu ini. Karena ini tidak menyangkut sebulan dua bulanan tapi lima tahunan atau puluhan tahun. Saya hanya menyimpan stamina saja jika diperlukan sambil terus mengamati persoalan sumbangan dari luar. Bukan persoalan ini saja tapi ini juga sudah jadi persoalan dunia, semua orang membantu. Tapi kan, belum cair atau apa namanya begitu.
Kita targetnya sampai bulan April (konser amal untuk Aceh bersama Slank). Perjalanan kita ini sampai 3 April. Walaupun sebagian orang yang dikunjungi sudah capek yah, dengan persoalan ini.
AS: Mungkin beralih dengan lagu-lagu Bang Iwan sendiri. Kita mengikuti perkembangan lagu Bang Iwan hingga sekarang. Ada perubahan warna romantik dalam lagu Bang Iwan belakangan ini. Kesannya sekarang kurang “galak” dalam menciptakan lagu. Apakah itu juga ada semacam perubahan pandangan Bang Iwan terhadap kondisi bangsa ini, apakah ini sesuatu yang bagus, atau sesuatu yang sebenarnya bagi Bang Iwan sudah cukup dan tidak perlu ada kritik lagi?
IF : Secara prinsip, saya sih, enggak ada perubahan. Artinya saya berjalan saja sesuai dengan apa yang saya tahu, sesuai dengan umur saya. Saya mengikuti alam sajalah. Saya tidak pernah memaksakan. Tapi memang betul bahwa setelah ada tur di 36 kota dulu, Satu Hati Satu Rasa (di 32 kota dari 24 Mei-24 Agustus 2002-red), saya dapat kesempatan melihat banyak daerah.
Setelah perjalanan itu saya merenung dan berpikir, ternyata semua orang mampu menyelesaikan masalahnya. Semua orang bisa menjawab persoalannya. Jadi sesungguhnya orang yah, kalau enggak parah-parah banget tidak perlu bantuan. Orang bisa hidup dengan menjual rokok, menambal ban, atau hidup di tepi hutan karet. Mereka bisa hidup, bisa tertawa, bisa gembira.
Jadi, setelah saya melihat seperti itu, saya jadi agak takut. Agak takut memberikan kritik-kritik. Karena, ‘Ah, sok ngritik’, naahh gitu kan (Iwan tertawa). Atau, ‘Sok kaya lu!’. Ada yang kayak gitu, ‘Aku mampu, kok’. Ada orang yang enggak suka digituin. ‘Aku enggak perlu bantuan kamu,’ ‘Aku enggak perlu diginiin, aku bisa hidup’. Jadi agak hati-hati. Saya lebih cenderung keperenungan.
AS : Artinya Bang Iwan sendiri melihat bahwa bangsa kita ini, rakyatnya sudah bisa membela dirinya sekarang ini?
IF : Ya! Yang perlu dikiritik adalah mungkin penguasa atau pengelola negara. Persoalan bagaimana membuat jalan benar saja mereka enggak bisa. Itu yang perlu dikritik. Tapi kalau persoalan masyarakat, mereka sudah siap sekali. Bahkan mereka enggak ngeluh. Bukan berarti mereka tidak bisa bicara meski ada anggapan mereka tidak bisa bicara. Sudah terlalu sering mereka digitukan. Tapi tidak ada waktu untuk itu. Mereka (rakyat) sudah sibuk bekerja untuk mengelola dirinya sendiri.
Tapi harapan saya kepada pengelola negara, mentang-mentang rakyatnya siap, mentang-mentang rakyaknya tabah, jangan lantas mereka jadi sewenang-wenang gitu. Malah ini model awal pengelola negara untuk bisa kerja lebih siap lagi. Bisa dibayangkan kalau umpamanya rakyatnya gampang berkeluh kesah. Bisa lebih susah lagi bagi pengelola negara. Kau siap, kau beri jelek aja, aku siap. Apalagi kau beri aku kebaikan, aku lebih siap. Jadi ini sebenarnya poin yang baik buat pengelola bangsa ini.
Karena saya melihatnya seperti itu, ok, kalau gitu, saya melihat ke dalam diri saya. Mungkin berkomunikasi dengan yang terlihat oleh saya. Depan mata saya. Yah, mungkin keluarga, mungkin tuhan, misalnya. Itu sebabnya. Walaupun saya masih baca koran, lihat televisi. Lihat orang-orang pedalaman ada, kan? Kita maksudnya ingin kasih mereka pinter tapi malah jadi salah. Soal hidup bagaimana hidup, ternyata mereka lebih jago daripada kita (Iwan terkekeh).
AS : Bang Iwan punya pengalaman dengan orang-orang pedalaman?
IF : Langsung enggak. Tapi kalau ditelevisi itu kalau ada acara-acara itu saya suka nonton. Artinya kalau kita mau masuk ke pedalaman itu, mungkin, kita harus belajar dulu kearifan di situ. Kita harus tahu persis apa kebutuhannya, jangan langsung apa yang tidak mereka butuhkan (Iwan terkekeh lagi) malah diberikan.
AS : Belum lama ini kita menggelar acara forum-forum suku-suku asli dimana mereka tinggal di pedalaman. Kondisi mereka pas sekali dengan lagu Bang Iwan, “Balada Orang Pedalaman”. Lagu itu ternyata masih aktual dengan kondisi mereka yang hingga kini masih termarginalkan. Apa ada ingin yang dikedepankan lagi oleh Bang Iwan dengan masyarakat yang termarginalkan?
IF : Iyaa, akhirnya jadi penebalan jadinya saya, dari balada pedalaman. Tadinya yah, saya pikir hanya kasihan. Tapi ternyata setelah melihat sekarang ini jadi benar-benar kasihan. Karena benar-benar hutannya dirambah, diambil, akhirnya terpinggir, pinggir dan akhirnya mereka marah dan malah jadi kriminal atau apa.
AS : Apakah ada kelelahan dari Bang Iwan sendiri ketika banyak tuntutan dari masyarakat, fans agar Bang Iwan menyuarakan orang-orang terpinggir ini lagi?
IF : Iya. Kemarin saya ngomong sama istri saya (Rosana atau akrab dipanggil Yos-red) di kamar. Diperjalanan. Mungkin kita bersuara ini lagi. Terus terang ini mafia semua. Sadar enggak sadar, lingkungan kita ini sudah sangat parah sekali. pengelolaannya, alamnya. Saya tanya ke istri saya (Iwan nyengir), capek enggak kamu? dia bilang yah capek, tapi mau gimana lagi. Ini sudah panggilan, ini harus berjalan. Jangan hanya karena segelintir orang terus kita lantas menyerah. Yah sudah terimakasih saja dan bersyukur saja. Saya bicarain ini dua hari lalu
AS : Tanggapan istri Bang Iwan?
IF : Yah dia juga capek. Umpamanya nih, kita datang untuk pertunjukan bantu Aceh. Penontonnya yang datang 100 ribu yang beli tiket cuma 5000 doang. Yang lainnya nerobos melulu, itu di beberapa kota ada kayak gitu. Saya bilang, ini rampok namanya (Iwan terkekeh). Sementara keamanannya segala macam bukannya bantu malah ikut. Itu baru soal musik. Saya bisa bayangin bagaimana yang illegal logging, bagaimana soal KKN yang lain-lain, ini baru persoalan musik aja udah begitu, apalagi persoalan yang tidak terlihat. Ini yang terlihat di depan langsung. Kan, kata orang dulu musik itu santapan raja-raja (Iwan ketawa). Tapi walaupun itu santapan raja-raja buat saya kan, enggak berlaku sama sekali. Saya hanya melihat dari musik, mudah-mudahan saya bisa melihat kehidupan.
AS: Abang tampaknya mengikuti semua perkembangan di Indonesia, apakah juga mengikuti perkembangan soal illegal logging dan bagaimana tanggapan abang?
IF : Enggak ada jalan lain kecuali menanam kembali. Karena tidak ada istilah telat buat yang hidup. Kalau tumbuh-tumbuhan itu kan, usianya bisa ratusan tahun. Tidak ada pilihan lain kecuali ditanam sekarang. Segala yang ada di dalam hutan sekarang sudah habis semua. Dengan ditanam kembali, bukan hanya tumbuh-tumbuhan yang akan hidup tapi kehidupan lain yang bisa menunjang keseimbangan alam bisa terjaga. Ini bukan mustahil ini bisa jadi hal konkret dan nyata.
Sebab kita butuh udara yang sehat. Hutan itu paru-paru kita. Ini sudah jadi kebutuhan. Mulai sekarang kita harus menanam meski sedaun atau hanya sebiji.
AS : Mengikuti juga gebrakan pemerintah sekarang dalam memerangi illegal logging?
IF : Saya enggak detil mengikuti. Cuma yang terakhir yang saya ikuti sampai ke Papua, kan? Artinya banyak media yang mengabarkan itu semua. Gue pikir orang juga enggak mau bunuh diri, kan? Setelah kamu punya uang, ok, kamu mau ngapain? Setelah habis-habisan, kamu rambah semua. Setelah kamu kaya, masa kamu ingin hidup di alam yang tandus? Kalau alamnya hancur kamu juga hancur. Jadi, makan itu tuh, uang! Jadi bunuh diri, namanya.
Yah, gua pikir ini persoalan bersama-sama. Hanya masalah ketidaktahuan kita. Persoalan hutan kita kan, setelah kita menanam kembali, orang yang hidup dari hutan itu juga harus hidup lagi. Penebang kayu gantinya apa, kalau pemerintah sudah tahu, enggak masalah. Penebang kayu juga butuh pohon, kok (pohon sebagi paru-paru manusia).
AS : Menurut Bang Iwan apa pemerintah sudah maksimal memerangi Illegal logging dan masalah lingkungan yang kini telah menjadi bencana bagi masyarakat?
IF : Saya bukan pakarnya. Tapi yang saya tahu Pak Ka’ban (MS Ka’ban-Menhut-red) itu orang sederhana dan cukup berpikir untuk orang lain. Mudah-mudahan ini jadi baik. Kalau orang sesederhana Pak Kaban… yah kita lihat saja. Saya sih, berharap banyak.
AS: Terakhir, arti alam dan hutan bagi Bang Iwan?
IF : Yang saya tahu bahwa dalam hidup ini ada hukum alam besar, kecil, sosial. Jika kita melanggar hukum-hukum ini akan menjadi neraka bagi kita. Jika kita melanggar hukum sosial malah akan tersingkir dari masyarakat. Melanggar alam kecil hukum kita sendiri juga ada balasannya. Tidak bisa kita